#1 DRAMA DENGAN KANTOR PAJAK, INOVATOR DI MATIKAN DI NEGERI SENDIRI?

Oleh: Arfi’an Fuadi ( Founder PT. Dtech Engineering, Akademi Inovasi Indonesia)

Post ini saya buat sebagai bahan pembelajaran kepada teman-teman Innovator atau pekerja teknologi atau teman-teman yang peduli terhadap kemajuan inovasi di Indonesia.

Jadi ceritanya, hari kemarin adalah kali ke 5 dari rangkaian pemeriksaan pajak saya pribadi (bukan Dtech Engineering). Jujur sebagai Design Engineer, cukup melelahkan karena saya kurang pintar dalam segi hitung-menghitung dan memahami undang-undang tentang keuangan. Cukup cepat bingung saya dalam hal itu.

Masalah ini terjadi diawali pada saat Dtech Engineering (PT Dtech Inovasi Indonesia melakukan fundraising/penggalangan dana investasi di akhir tahun 2020 karena pada tahun itu, dana riset kami habis untuk meriset mesin CNC dan kami membutuhkan dana tambahan untuk menuntaskan riset agak menjadi produk yang siap dijual (GMV) serta membangun tempat produksi.

Singkat cerita, saat itu setelah menghubungi beberapa teman, Alhamdulillah ada perusahaan yang percaya kepada kami dan memberikan investasi. Nilainya cukup besar bagi saya pribadi dan team kami.

Sangat cukup untuk kami menuntaskan desain dan merintis workshop untuk memulai produksi. Kami bersepakat bahwa 100% dana investasi, akan dipakai untuk melanjutkan riset, membuat tempat produksi serta melakukan produksi mesin CNC.

Karena ada investasi masuk, maka akta perusahaan pun kami rubah. Nilai dari “modal disetor” kami naikkan. Disinilah awal mula masalah terjadi. Karena saya sebagai pemegang saham dari perusahaan yang saya dirikan ini, maka otomatis seakan-akan modal yang saya setor naik signifikan, karena proporsi nilai “modal disetor” inilah yang menjadi acuan jumlah lembar saham yang dimiliki oleh para pemegang saham.

Nah, masalah yang terjadi sekarang adalah, nilai “modal disetor” inilah yang dianggap oleh para orang-orang terpilih dan pintar di kantor pajak sebagai PENGHASILAN pribadi saya pada tahun 2020, yang harus saya bayar pajaknya sebesar 10 – 35% (saya lupa nilai nya).

Padahal itu adalah uang investasi, yang 100% akan dipakai untuk pengembangan modal usaha. 100% langsung masuk ke rekening PT, untuk dijadikan modal usaha.

Uang investasi itu bukanlah penghasilan yang bisa saya nikmati, akan tetapi adalah tanggung jawab yang harus saya tunaikan sehingga investasi itu berkembang dan menghasilkan sesuatu untuk dibagi kepada Kami (pendiri perusahaan), stake holder (pemegang saham) dan negara (pemerintah).

Sampai saat ini, total sudah 7 kali saya menjelaskan hal yang terjadi. Akan tetapi, sampai kemarin juga, para pemeriksa masih kukuh dalam pendiriannya, bahwa “ini adalah pendapatan yang harus kena pajak”.

Dengan skema seperti ini, saya JAMIN, inovasi di Indonesia akan MATI.

Jangan harap lagi ada pemuda-pemuda yang bisa hidup dari inovasinya jika mereka bukan anak orang berpunya yang harus berjuang meyakinkan investor untuk mendanai inovasinya, jika investasi awal harus kena pajak yang besarnya berjenjang bisa mencapai 35%.

Kami seperti di himpit dari kanan, kiri-depan, belakang, atas dan bawah. Ada produk plagiat, lamanya proses paten dan pendaftaran merk, harus perang dengan barang import, ada produk plagiat dari Cina yang dijual online yang saya yakin mereka tak bayar pajak, lamanya ijin IMB, lamanya pindah status dari SHM ke SHGB, somasi produk plagiat yang susah, dan masih banyak lagi, ditambah ini ada pajak yang menurut saya tidak rasional.

Bagaimana coba kami harus memenangkan teknologi?

Dari tahun 2009-2018, saya banyak membantu start-up di USA maupun di Eropa, akan tetapi mekanisme “investasi kena pajak” sebesar ini baru saya temui di sini.

Ironisnya, di negara yang sangat saya cintai. Tanah air saya. Harapan saya bahwa nanti lahir “Steve Jobs” nya Indonesia, atau “Thomas Alfa Edison” nya Indonesia pupus sudah.

Di negeri ini, seakan-akan intelektual kami tidak dihargai. Bahkan, menurut kami semua intelektualitas dan usaha kami dalam membangun negeri ini, di injak-injak dengan begitu kejam.

Sedih.

Apakah saya (atau kami) harus pindah negara agar bisa berinovasi?

Padahal, beberapa tahun yang lalu, saya beberapa kali di undang untuk menjadi narasumber di Kantor pajak di Jakarta sana. Saya sharing tentang inovasi.

Saya sangat exited waktu itu. Pikir saya, saya bertemu dengan ujung tombak penerimaan negara. Saya kira mereka akan mendukung gerakan kami untuk meningkatkan index inovasi global Indonesia. Tapi, sekarang saya malah kecewa. Kecewa dengan sangat berat.

Filosofi mereka yang biasa disampaikan adalah “Ambil telurnya, jangan potong ayamnya”…

Hal yang terjadi di saya tentu sangat berbeda 180 derajat. Jika di ibaratkan saya adalah orang yang jago membuat ayam bertelur, maka ayam yang datang ke saya harus dipotong kaki nya terlebih dahulu (10%-35%) terus disuruh bertelur. Alih-alih bertelur, mungkin ayamnya malah mati.

Walaupun saya bisa mendapatkan bagian dari telur ayam yang di “investasikan” ke saya, tentu saja saya tidak akan bisa dengan seenak jidat menjual atau memotong ayamnya untuk saya makan dan saya nikmati.

Ayam itu bukanlah penghasilan. Ayam itu adalah tanggung jawab yang harus saya tunaikan. Setelah ayam itu bertelur, barulah telurnya kami bagi. Untuk kami, investor dan negara.

Saat ini, 3 tahun sudah dari pertama kami mendapatkan investasi. Alhamdulillah, ayam-ayam yang di amanahkan oleh investor kepada kami itu sudah bertelur.

Banyaaak sekali telurnya. Seperti yang kami janjikan, telurnya tentu akan kami bagi-bagi telurnya. Untuk kami, para investor dan negara. Telur (dividen) untuk bagian kami, tidak kami ambil.

Kami pakai untuk pengembangan usaha. Tapi, yang menjadi bagian negara, kami setorkan tertib tiap bulan. Mungkin setoran pajak perusahaan kami selama 3 tahun ini, nilainya sudah lebih besar daripada total investasi yang kami dapatkan.

Tapi….

Entahlah…

Bahkan, setoran PPN kami, mungkin nilai nya hampir 10% dari total PPN yang terkumpul di Kota Salatiga, walaupun umur perusahaan Kami baru seumur jagung. Pertumbuhan kami selama 3 tahun ini mencapai 50 kali lipat.

Bahkan, telur ayam tersebut telah berhasil menguliahkan hampir 100 mahasiswa secara gratis, dari awal sampai akhir. Memberi akses pemuda-pemudi Indonesia untuk berkuliah. Akses yang dulu tidak bisa saya dapatkan.

Entahlah.

Ini Saya yang bodoh, ndeso, tidak tahu peraturan (padahal saya sudah berusaha sekuat saya untuk mempelajarinya), atau peraturan di Indonesia memang belum/tidak mendukung terjadinya dan membesarnya suatu inovasi.

Bagaimana kelanjutan hasil pemeriksaanya?

Kita tunggu chapter-chapter selanjutnya. Insya Allah akan tetap saya sharing kan, untuk bahan pembelajaran kita bersama ya.

Jika ada teman-teman yang lebih tahu tentang case saya ini, mohon masukannya ya…

Salam.

Arfi’an

 

image source: Tribunews.

You May Also Like

Vera Novianti, Kita Tak Bisa Buat Semua Orang Sukai Kita Maka Jadi Diri Sendiri Saja
Vera Novianti, Kita Tak Bisa Buat Semua Orang Sukai Kita Maka Jadi Diri Sendiri Saja
Nada Crusita, Pede Lakukan Apa yang Kita Mau dan Jangan Menunda-nunda
Nada Crusita, Pede Lakukan Apa yang Kita Mau dan Jangan Menunda-nunda
Dita Handayani, SH: Let The Beauty Of What You Love Be What You Do
Dita Handayani, SH: Let The Beauty Of What You Love Be What You Do
Mega Perdana Putra, Tiap Langkah yang Kita Ambil Sekecil Apapun Adalah Investasi Untuk Masa Depan
Mega Perdana Putra, Tiap Langkah yang Kita Ambil Sekecil Apapun Adalah Investasi Untuk Masa Depan
Shifa Nur, Jangan Pernah Biarkan Rasa Takut Menghalangi Impian Kita
Shifa Nur, Jangan Pernah Biarkan Rasa Takut Menghalangi Impian Kita
Dewi Ariny Wulandari, SH. MK.n: Setiap Perbuatan Baik Kecil Apapun Tak Kan Sia-sia
Dewi Ariny Wulandari, SH. MK.n: Setiap Perbuatan Baik Kecil Apapun Tak Kan Sia-sia