Andini Wening Tyas Effendi, Indonesia Can Be Much Better!
Iniloh.com Jakarta- Lahir dan besar di jantung ibu kota, Andini Wening Tyas Effendi menyebut dirinya OG of Jaksel, sebuah klaim yang berbicara tentang akar Jakarta Selatan yang dalam.
Tapi identitasnya jauh lebih kompleks dari sekadar label geografis.
Ia tumbuh di tengah keluarga multikultural yang hangat: tinggal bersama Eyang Putri (Mamah) dan Eyang Kung, sosok kakek-nenek yang kental nuansa Jawanya.
“My memories dulu tuh aku ngerasanya aku terlalu dididik tuh kayak jadi orang Jawa yang harus ayu,” kenangnya, menggambarkan tuntutan kesopanan dan tata krama yang ketat.
Namun, jiwa pemberontak dalam dirinya tak bisa dijinakkan.
“Aku kan rebel banget ya. Kayak bener-bener pemberontak abis,” ujarnya.
Konflik identitas ini memuncak saat Eyang Putri menekankan kewajibannya sebagai orang Jawa.
Dengan tegas Andini kecil membalas: “Mamah, aku orang Indonesia, bukan orang Jawa.”
Pernyataan itu mencerminkan jiwa nasionalis dan demokratis yang sudah melekat sejak dini, diperkuat oleh darah Lampung dari sang ayah.
Ia memilih untuk merangkul identitas Indonesia-nya secara utuh, menolak dikotak-kotakkan.
Meski tumbuh dalam lingkungan yang jarang mengucapkan “I love you”, Andini tak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Justru di situlah ia belajar esensi cinta yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
“Cinta tuh datang bukan hanya dari kata-kata, tapi dari perilaku,” tegasnya.
Ia merasakan cinta itu dalam kebebasan mutlak yang diberikan keluarganya: bebas mengutarakan pendapat, bebas menjadi diri sendiri, bebas menjadi perempuan yang empowered.
Ruang gerak tanpa batas inilah yang menjadi landasan kekuatan dan kepercayaan dirinya.
Kenangan manis masa kecilnya juga dirajut di bawah langit Jakarta tempo dulu yang masih gelap.
“Dulu tuh Jakarta, kita tuh masih bisa ngeliat bintang-bintang,” kenangnya.
Ritual bersama sang ibu yang kini telah tiada, memandang bulan purnama dan membayangkan nenek sedang memintal, menjadi momen sakral.
Kini, cahaya bulan purnama itu menjadi pengingat bahwa ibu dan neneknya selalu menjaganya dari atas.
“Bulan purnama is my favorite time,” ungkapnya penuh makna.
Passion Andini terhadap dunia tanya-jawab dan narasi sudah terlihat sejak belia.
Rasa ingin tahu yang membara, curious banget, penasaran mulu dan sikap kritisnya membawanya pada cita-cita menjadi wartawan meski belum sepenuhnya paham profesi itu.
Pertanyaan kritisnya, seperti Kenapa di Indonesia nggak boleh nikah beda agama? saat masih di bawah 10 tahun, adalah pertanda.
“Hidup memberikan aku jalan sebagai wartawan agar tetap kritis,” ujarnya.
Dunia jurnalistik menjadi wadah sempurna untuk selalu mengajukan pertanyaan dan memahami bahwa “There’s never a solid answer to anything“, hanya berbagai narasi yang berkembang.
Prinsipnya jelas: “You have to be able to create your own narrative.”
DNA kritis dan rasa ingin tahu itulah yang membentuk karirnya.
Dunia media pun terus bergerak, dan Andini pun bertransformasi.
Dari jurnalis, ia berevolusi menjadi content creator dan entrepreneur di bidang media dan komunikasi.
Tantangan barunya? “Kalau dulu kerja sama orang, sekarang kerja sendiri.”
Ia harus mempelajari hal baru yang asing: bisnis, keuangan, kreativitas dalam pengembangan usaha, dan yang terpenting, seni berpartner.
“Yang tadinya network, kenalan-kenalan aja sekarang jadi partner,” jelasnya.
Tantangan membangun kolaborasi dan cari cuan bareng ini menjadi pendorong pertumbuhan barunya, memanfaatkan jejaring luas yang dibangun selama karir jurnalistiknya.
Harapan dan doa Andini melampaui kesuksesan pribadi.
Ia memimpikan naik kelas untuk dirinya, sepupu, dan adiknya, generasi ketiga keluarganya bukan hanya secara ekonomi, tapi juga dampak sosial.
“Kalau lu udah kaya, lu bermanfaat gimana nih buat masyarakat?” tanyanya retoris.
Visi besarnya jelas: menciptakan dampak untuk perempuan di seluruh Indonesia.
Ia ingin membantu mereka menjadi percaya diri, menyadari there are limitless options for them, mampu berkomunikasi dengan baik, dan mendapatkan ide untuk berkarya.
Tujuannya adalah triple effect: perempuan yang bekerja, berkeluarga, berpenghasilan, sekaligus berdampak positif bagi komunitasnya.
“I want Indonesian women to be confident,” tekadnya.
Pesan terakhir Andini untuk pembaca Indonesia menyentuh inti persoalan bangsa.
Ia menyadari hidup dalam bubble bernama Jakarta, namun memahami bahwa di luar sana banyak bubble-bubble lain, penuh dengan potensi, energi positif, orang-orang hebat.
Kuncinya, menurutnya, adalah interkoneksi dan akses: akses keuangan, akses ke pasar global, akses ke orang-orang tepat.
“Kita bisa jadi bangsa yang hebat, tapi belum ter-interconnected aja,” ujarnya.
Harapannya yang tulus adalah memperkenalkan aku-aku lain yang tersebar di seluruh Nusantara.
“Hopefully we can make Indonesia a much better place. It is a best place to live, tapi it can be much better.”
Source image: andini

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










