Anggie Rachmat, Jangan Takut Gagal. Salah, Perbaiki yang Penting Terus Bergerak
Iniloh.com Jakarta- Palembang, kota yang dihiasi kelezatan pempek dan kemegahan Jembatan Ampera, menjadi tempat kelahiran Anggie Rachmat.
Perempuan yang akrab disapa Anggie ini mengaku masa kecilnya diwarnai kebersamaan hangat bersama keluarga.
“Setiap kali melewati Ampera, saya teringat obrolan santai di tepian Sungai Musi sambil menikmati pempek kapal selam.
Palembang mengajarkan saya arti kekeluargaan dan kekayaan budaya,” ujarnya.
Nilai-nilai ini ia bawa hingga kini, meski hidupnya penuh dinamika sebagai istri Bhayangkari yang kerap berpindah tugas mengikuti suami.
Sebagai istri Bhayangkari, Anggie harus beradaptasi dengan rutinitas berpindah kota.
Namun, ia tak membiarkan hal itu membatasi produktivitasnya.
Saat suami bertugas di Kalimantan Barat, ia melamar sebagai penyiar program dialog di TVRI setempat.
“Saya harus terus update informasi agar bisa menyeimbangkan diskusi dengan narasumber ahli. Ini tantangan, tapi justru memperkaya wawasan,” kenangnya.
Profesi ini memberinya kesempatan bertemu orang dari berbagai latar belakang, memperluas perspektif tentang isu sosial dan budaya.
Di sisi lain, kecintaannya pada kain wastra Nusantara membawanya menjadi desainer fesyen etnik.
“Saya terinspirasi oleh keindahan tenun dan batik Indonesia. Saya ingin kain tradisional tak hanya jadi pajangan, tapi bisa dipakai sehari-hari dengan gaya modern,” paparnya.
Koleksi ready-to-wear bernuansa etnik karyanya tak hanya menjadi medium promosi budaya, tapi juga membuka lapangan kerja bagi pengrajin lokal di setiap kota yang ia tinggali.
“Ini cara saya berkontribusi, sekaligus menjawab kerinduan akan kreativitas di tengah mobilitas,” tambahnya.
Bagi Anggie, menjalani peran ganda sebagai istri, ibu, presenter, dan desainer adalah seni mengelola kehadiran.
“Balancing career and family isn’t always easy, but it’s the art of presence that turns chaos into harmony,” ujarnya, mengutip filosofi hidupnya.
Ia mengaku, kunci utamanya adalah fokus pada kualitas, bukan kuantitas waktu.
“Saat di rumah, saya matikan gadget dan benar-benar ‘hadir’ untuk anak-anak. Saat bekerja, saya berikan energi terbaik,” jelasnya.
Ia juga melihat hambatan sebagai tantangan kreatif.
“Ketika harus pindah kota, saya anggap itu kesempatan eksplorasi motif wastra baru. Setiap daerah punya kekhasan yang bisa jadi inspirasi desain,” ujarnya.
Anggie bercita-cita agar kain wastra semakin diminati generasi muda.
“Saya ingin membuka workshop untuk mengajarkan teknik modifikasi wastra ke produk kontemporer, seperti tas atau aksesori,” ucapnya.
Ia juga berkomitmen membagikan ilmu public speaking kepada ibu-ibu di daerah, membantu mereka percaya diri mempromosikan usaha.
“Ekonomi kreatif bisa jadi solusi kemandirian, apalagi bagi perempuan yang mobilitasnya terbatas,” tambahnya.
Anggie berpesan: “Jangan takut gagal. Salah, perbaiki. Jatuh, bangkit lagi. Yang penting terus bergerak.”
Ia menekankan bahwa kesuksesan bukanlah garis lurus, tapi rangkaian proses belajar.
“Bukan tentang banyak waktu, tapi tentang mencintai semua peran yang Allah titipkan,” ujarnya, merujuk pada prinsipnya menjalani karier, karya, dan keluarga secara seimbang.
Ia juga mendorong generasi muda untuk melestarikan budaya dengan cara relevan.
“Pakai batik tak harus di acara formal. Mix and match dengan jeans bisa jadi gaya sehari-hari yang kekinian,” contohnya.
Source image: anggie

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










