AS Hikam: Cak Nun Offside, Tak Masuk Akal & Tak Tanggung Jawab
Sebuah statement dari budayawan, cendekiawan yang mempunyai pengikut. Seorang dai juga karena beliau mempunyai pengajian yang bernama Maiyah atau Padhang Bulan apapun.
Tetapi jika kita mau menggunakan analisa politik, kita harus juga menggunakan parameter politik, parameter akademik. Saya yakin statement dari Emha Ainun Nadjib lebih kurang sebagai satu pengamatan yang umum saja, bukan dilandasi oleh satu pretensi akademisi dan lain sebagainya, sehingga memahami Cak Nun juga harus memahami bagaimana lingkungan dan konteksnya pembicaraan Cak Nun.
Saya kenal ya dengan Cak Nun, dan dulu zaman saya jalan dengan Gus Dur ya ketemu dalam seminar-seminar di Yogyakarta, kadang di Jombang dll.
Bagi saya beliau itu mau tidak mau, suka tidak suka harus di akui sebagai salah satu tokoh budayawan kita yang mempunyai pengaruh di dalam pandangan-pandangan, opini dan diskursus yang beliau bangun.
Perkaranya kemudian kontroversial atau tidak, itu kan situasional juga. Dan sekarang barangkali karena statemennya seperti itu ya situasional saja dan jadi viral. Memang luar biasa sambutan dari publik, mungkin banyak yang tidak setuju daripada setuju. Tetapi pada dasarnya itulah Cak Nun.
Makanya kalau ditanya tentang statemen Cak Nun, saya jadi ingat Almaghfurlah Gus Dur ya, beliau kalau menghadapi Emha Ainun Nadjib kan bilang” Alah jarno wae kan yo wis..”kan begitu ya. Biarkan saja. Gus Dur kan gitu tidak terlalu meladeni, marah-marah dll ya.
Mungkin Gus Dur sebagai sesama orang Jombang, sesama budayawan itu, dan keduanya bersahabat. Jombang yang lain ya Cak Nun.
Sebagai cendekiawan dan intelektual tentu Gus Dur menghadapinya beda, dengan Cak Nun, bukan berarti merendahkan ya. Tetapi kan maqom Gus Dur tahu kan ya lah beliau. Oleh karena itu saya mencoba mengikuti pandangan Gus Dur dalam hal ini. Tidak usah terlalu seriuslah.
Tetapi saya tidak boleh mengatakan itu tidak ada masalah apa-apa. Ya ada bagi orang-orang yang kritis terhadap Cak Nun, tentu reaksinya bermacam-macam juga. Tentu mengecam, mulai dari segi filsafati, sufi sampai ada yang melaporkan ke Bareskrim. Dan nanti juga yang mendukung statemennya Cak Nun juga ada. Bahwa statemen Cak Nun itu adalah semacam kritik.
Kritik seorang cendekiawan, seorang budayawan itu bisa kadang-kadang kemudian dianggap sebagai provokasi dan sebagainya. Faktanya kita lihat dalam beberapa hari, beberapa jam ya saya tidak tahu jelas, Cak Nun nya sendiri sudah minta maaf.
Fenomena kedua, minta maafnya itu bukan kepada sasaran utama kepada Jokowi, Luhut, Anthony Salim, tetapi kepada orang-orang yang menderita karena kecipratan itu kan?
Ini akan menjadi bagian yang lebar lagi persoalannya bagi yang pro dan kontra. Jasi saya memahami Gus Dur ya seperti ini, jarno wae. Jadi kalau ini dibuat serius maka akan muncul permasalahan dan kegaduhan.
Saya justru sangat respek terhadap Pak Jokowi, beliau kan tidak respon apa-apa ya, sampai detik ini kita diskusi ya, gak tahu kalau besok. Melihat respon dari Pak Jokowi, jangan-jangan beliau itu yang paling tepat. Karena dalam filsafat Jawa, Pak Jokokwi kan orang Jawa dan sangat mendalam ya, kalau ikut reaksi seperti itu, omongan-omongan seperti itu ya levelnya akan disamakan.
Tetapi jika dengan dilihat di biarkan, di jarno itu Pak Jokowi melihat kecil itu Emha Ainun Nadjib. Nanti bagaimana melihat para pendukung Pak Jokowi dan Emha, karena kita tidak boleh melarang juga.
Kalau ini mau dilihat sebagai penghinaan, kan ada aturan hukumnya ya, kalau di anggap sebagai tidak masalah, karena sudah minta maaf kan bisa-bisa saja. Justru yang menarik itu Pak Jokowi tidak respon, tenang-tenang saja dan itulah keunggulan dari Pak Jokowi.
Kalau bahasa Magelang nya itu, luweh saja. Jarno rak uwis kata Gus Dur. Secara politik, kalau kita mendengarkan diri secara pendekatan budaya Jawa terutama, ya malah lebih unggul Bapak Jokowi.
Karena setelah itu kan terserah kepada publik di medsos dll. Dan reaksinya sudah jelas, orang semakin mempertanyakan. Lho bikin statemen seperti itu, minta maafnya gak jelas, kan ada yang seperti itu.
Tetapi dari segi substansi, saya pikir tidak ada artinya apa-apa kalau diramaikan, apalagi kalau Presiden ikut turun tangan, karena subtansinya apa, kalau anda mengaggap itu kritik yang substanstif?
Dan fakta setelah permintaan maaf itu seolah-olah yang dikatakan Emha Ainun Nadjib, bahwa seolah-olah saya itu kesambet.
Kesambet itu kalau dalam istilah kampung saya, Tuban Jawa Timur orang yang kesurupan ya. Itu kan tidak bertanggung jawab. Orang kan membandingkan sikapnya Cak Nun kepada Soeharto dulu, dan sekarang dengan rezim Bapak Jokowi, zaman dulu dimungkinkan sekarang.
Orang kalau membandingkan harus aple to aple, pun ini sangat serius ya, seorang Raja yang sangat dzalim dalam dunia Islam ya, dibandingkan dengan Presiden yang tidak seperti itu di dalam pandangan publik.
Pak Luhut dengan Haman, kalau guyon itu Haman Tentram apa bagaimana, ini tidak substanstif. Jadi guyon saja, boleh menanggapai, sudah ramai, viral kan ya.
Kalau saya justru tertarik pada bagian lain dari fenomena ini, yaitu sirkum stensi, atau situasi kondisi, “ kahanan” kenapa ada kritik, komentar dari budayawan terkenal dengan kritik seperti itu, dan cukup untuk menjawab, tidak sampai menyinggung Presiden Jokowi dan Cak Nun.
Harus dilihat lagi, kalau dalam istilah saya, yakni interteksnya, yaitu bahwa sekarang ini ada banyak orang-orang yang muncul dan melakukan kritik-kritik seperti ini terhadap Pak Jokowi, justru di ujung-ujung beliau akan berakhir pemerintahannya.
Kita lihat sebelum ini kan, ada teman saya yang saya hormati RR, Rizal Ramli kan juga menyuarakan kritik seperti itu, ada yang secara langganan Rocky Gerung juga, semua orang kan sudah tahu, dan tidak perlu repot orang merespon.
Makanya saya katakan, yang saya lihat tadi Pak Jokowi menurut saya sudah tepat, karena kalau di urusin nanti akan muncul yang lain-lain, akan banyak yang meniru. Ini akan jadi viral, kritik Pak Jokowi sak enake dewe koyo iku..
Pak Jokowi lebih tinggi dari itu sikapnya, yang saya lihat ya sampai sekarang ini, yang lain-lain berhak sebagai warganegara, ada yang concern, ada yang mengkritik balik Emha, mungkin ada yang juga mendukung, menambah-nambahi dan sebagainya.
Intinya sikap dari Pak Jokowi menunjukkan seorang yang memahami kultur Jawa, menggunakan pendekatan kultur Jawa dan menunjukkan beliau lebih dewasa dalam penyikapan hal-hal seperti ini.
Muncul fenomena seperti ini, menurut saya ada dua hal, pertama memang ada kecenderungan, karena orang itu semakin dekat dengan situasi yang akan berakhir kemudian orang berani untuk melakukan komentar-komentar, atau orang harus lihat secara obyektif bahwa ada hal-hal yang kemudian menjadikan publik, intelektual, atau masyarakat sipil mengeluarkan kritik, karena situasi dan kondisi Indonesia memang ada hal dan kondisi yang layak di kritik.
Masalahnya, apa tepat kritik itu, misal kepada Pak Jokowi, menggunakan argumentasi yang tidak subtantif tadi, misal kita lihat kan ada problem dengan Perpu Cipta Kerja, itu kan banyak yang mengerti dan sah untuk dikritik, kemudian pertikaian tenaga kerja yang sudah terjadi di Morowali, kemudian kasus korupsi yang besar-besar di Indonesia, kemudian demokrasi yang ditengarai oleh indeks internasional menurun, ini kan situasi yang ada dan bisa memicu banyak kritik.
Persoalannya adalah kritik yang seperti apa, saya kira publik Indonesia tidak enggan, atau menolak kritik terhadap pemerintah. Tetapi kalau kritik itu kemudian dianggap offside, maka ada reaksi.
Buktinya, kalau kritiknya masuk akal dan tidak offside, seperti Rocky Gerung, orang ada yang marah dan tidak tetapi lihat orang yang menyukai, like podcast Rocky Gerung luar biasa kan?
Yang dikemukakan oleh Cak Nun ini malah kritik dari publik yang makin banyak, karena tidak aple to aple, dan statemen Cak Nun secara kultur Jawa menyebut nama itu luar biasa. Sebagai pengamat politik, dari sudut politik secara signifikansinya tidak ada, malah kalau dilayani Pak Jokowi, ini yang sedang dicari oleh orang-orang seperti itu ya.
Dari caranya, dan ia minta maaf, menurut saya mohon maaf ya, statemen dia kok seperti tidak bertanggung jawab menurut saya, karena yang dimintai maaf itu siapa, lalu yang tak bertanggung jawab selanjutnya adalah fakta bahwa permintaan maaf itu kemudian seolah-olah apa yang dikatakan beliau itu bahwa saya kesambet, di kampung Tuban seperti tidak sadar diri, seolah-olah kesurupan, itu kan tidak bertanggung jawab, bahwa saya omong itu dan tak terkontrol.
Saya kok ragu ya, seorang Cak Nun kok omong tak terkontrol kok saya ragu-ragu. Semua statemen itu dipakai untuk meyakinkan audiensnya beliau itu.
Jadi sangat terkontrol, ini dari analisa pribadi saya ya. Dua hal itu membuat saya ragu bahwa dua hal tadi ialah believable, tapi saya tak akan komentari isi dari statement itu.
Bagi saya kurang penting, kita harus menanyakan kenapa situasi ini terjadi, kalau ini tidak dihandle dengan baik oleh pemerintah, Pak Jokowi akan muncul lebih banyak, atau sebaliknya orang menjadi akan terpicu melakukan karena ingin membela.
Mendekati gawe besar tahun 2024, justru persoalan-persoalan yang kelihatannya sepele seperti ini, atau tak sepele buat orang-orang tertentu, luberan masalah seperti ini bisa serius dan menciptakan gangguan.
Lebih baik menahan diri, tidak usah di gubris, jarno wae, Biarkan publik yang menilai sendiri seperti sekarang ini, malah minta maaf, minta maaf yang tidak jelas, malah ada persoalan baru lagi.
Saya yakin orang sebesar Emha, sebagai budayawan ya memang posisinya seperti itu, seperti Begawan dalam tanda petik, bahwa dia mengungkapkan apa yang dirasakan, mungkin merasa bahwa situasinya seperti itu.
Kemudian orang membandingkan sikap Cak Nun dulu dengan Suharto dengan, kenapa sekarang dengan Jokowi, hal yang lama di mungkinkan. Bahwa saya melihat salah satu podcast ada yang membandingkan, mengkritik begini, Firaun an mana antara era Suharto dengan Pak Jokowi?
Semua mempunyai argumentasi, yang dan itu menunjukkan bahwa ini ada di alam demokrasi, kalau bukan alam demokrasi ya sudah hilang yang omong seperti itu kan? Keliru juga mengatakan Pak Jokowi tidak berjuang menegakkan demokrasi, menurut saya kurang tepat. Seperti yang dipidatokan oleh Pak RR misalnya, ya memang kalau melihat Pak Jokowi waktu Malari belum aktif ya memang benar, lha lagi usia berapa kan, dan posisi beliau bagaimana.
Tetapi, kalau kita melihat perjuangan demokrasi itu ya jangan melihat apa yang telah dilakukan oleh Malari saja, ya sampai sekarang juga. Menurut saya Pak Jokowi berada ditengah-tengah proses yang sedang kita struggling, ya mungkin ada yang mengatakan demokrasi seedback seperti saya, tetapi juga tidak bisa mengatakan bahwa ini tanggung jawabnya Pak Jokowi saja.
Karena memang faktanya, banyak pihak-pihak , partai politik bahkan kalangan civil society ada yang menjadi pengganggu dari proses demokratisasi. Jadi menjatuhkan vonis kepada Pak Jokowi menurut saya, mohon maaf kurang fair juga.
Inti saya tidak melarang orang mengkritik, tapi ingin melihat dari perspektif saya. Itu ndak penting menurut saya, sekali lagi seperti yang dikatakan Gus Dur kalau Emha mengatakan sesuatu yang kedengaran nyaring dan seru, jarno, diamkan saja. Dalam artian kita harus mencari apa yang lebih penting yaitu situasi yang melatarbelakangi kondisi demokrasi kita saat ini.
Video lengkap AS Hikam: https://www.youtube.com/watch?v=L9dY8qLPJ7I

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










