Asti Oktavia A. Menari Adalah Doa dan Ekspresi dari Hati
Iniloh.com Jakarta- Di tengah gemerlap dunia seni yang kerap dipenuhi kompetisi, Asti Oktavia A. memilih jalan berbeda: menciptakan ruang di mana tarian menjadi bahasa universal untuk kebahagiaan dan kebebasan.
Perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah, ini tak hanya dikenal sebagai penari berbakat, tetapi juga pendiri sanggar tari inklusif yang mengutamakan ekspresi diri di atas penilaian.
Bagaimana perjalanannya hingga bisa konsisten berkarya sambil menginspirasi banyak orang?
Asti lahir dan besar di Temanggung, kota kecil yang jarang terdengar dalam peta seni tari Indonesia.
Sejak usia 8 tahun, ia sudah menempuh perjalanan 1,5 jam naik angkot setiap hari hanya untuk berlatih tari.
“Ibu selalu bilang, ‘Nggak papa terlambat, yang penting berangkat’,” kenangnya.
Dukungan keluarga, terutama sang ibu, menjadi kunci keteguhan hatinya.
Meski sempat menjadi satu-satunya anggota angkatan yang bertahan di sanggar pertama tempatnya belajar (usia 8–12 tahun), Asti tak menyerah.
Keluarganya, yang tak memiliki latar belakang penari, justru memberi kebebasan penuh padanya dan kakaknya untuk mengeksplorasi minat seni, mulai dari musik hingga menggambar.
Ketertarikan Asti pada tari berawal dari kebiasaannya menonton pertunjukan campursari bersama ibu.
Ia terpesona pada gerakan penari latar dan kerap menirunya di rumah.
Melihat bakat tersebut, sang ibu mendaftarkannya ke sanggar tari Jawa.
“Waktu kecil, saya hanya ingin menari seperti yang saya lihat. Tidak pernah terpikir ini akan menjadi jalan hidup,” ujarnya.
Minat itu terus berkembang, terutama saat SMP, hingga akhirnya ia memutuskan melanjutkan pendidikan ke SMKI Yogyakarta jurusan Seni Tari.
Di sana, bakatnya terasah secara formal, sekaligus memperdalam filosofi tari klasik Yogyakarta.
Kini, Asti mengelola sanggar tari yang ia sebut sebagai “ruang untuk menjadi diri sendiri”.
Tanpa penilaian atau kompetisi, sanggar ini hadir sebagai wadah bagi siapapun yang mencintai tari untuk mengekspresikan kegembiraan.
“Ini bukan bisnis. Kami sebisa mungkin hadir di setiap acara untuk memberdayakan teman-teman di sanggar,” tegasnya.
Prinsipnya sederhana: tari adalah medium untuk merayakan kehidupan, bukan alat untuk mengukur kemampuan.
Di balik dedikasinya, Asti menyimpan kekaguman pada Theresia Suharti, maestro tari klasik Yogyakarta.
“Beliau mengajarkan bahwa menari adalah doa dan ekspresi dari hati. Apa yang dirasakan hati, itulah yang harus keluar lewat gerakan,” katanya.
Filosofi ini melekat kuat dalam setiap karya Asti, baik saat ia menari maupun mengajar. Baginya, tari tidak sekadar teknik, tetapi juga kejujuran emosi.
Pengalaman hidup Asti mengajarkannya untuk tidak mudah menghakimi orang lain.
“Setiap proses punya start dan rintangan masing-masing. Cukup support dan beri energi positif. Kita tak tahu sehebat apa badai yang pernah mereka lewati,” ucapnya.
Kalimat ini bukan hanya motivasi untuk orang lain, tetapi juga pengingat bagi dirinya sendiri agar tetap rendah hati.
Source image: asti

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










