Ayu Artana, You Don’t Have to be Everyone’s Cup of Tea
Iniloh.com Jakarta- Lahir dan besar di Denpasar, tepatnya di kawasan Pantai Sanur yang legendaris, Ayu Artana menghirup udara laut dan keramaian turis sejak kecil.
“Destinasi wisata 24 jam rame banget,” kenangnya tentang lingkungan masa kecilnya yang dipenuhi hotel dan aktivitas tanpa henti.
Meski ramai, Sanur memberinya satu keistimewaan tak terbantahkan: sunrise terbaik.
Keindahan fajar merekah di garis pantai Sanur mungkin menjadi metafora awal hidupnya, tentang permulaan yang penuh harapan dan kehangatan yang konsisten.
Lingkungan pantai yang dinamis ini mungkin juga menanamkan sifat easy-going dan kemampuan adaptasi yang kelak menjadi ciri khasnya.
Cita-cita Ayu di masa muda tak membayangkan dirinya berdiri di balik konter apotek.
“Nggak kepikiran jadi lecture, malah pengin lebih mengabdikan diri ke kemanusiaan aja,” tuturnya jujur.
Impiannya adalah travel around the world buat jadi volunteer kemanusiaan.
Namun, realitas sosial masa itu, terutama ekspektasi bagi perempuan di Indonesia, menghadangnya.
“Di Indo cewek harus cepet-cepet nikah dan berkeluarga (jaman saya ya),” ujarnya, mengakui tekanan norma yang berbeda dengan generasi sekarang yang lebih modern.
Inspirasi juga datang dari keluarga dekat: kakak dan sepupunya yang mengabdi sebagai TNI dan Polri sempat membuatnya mempertimbangkan jalur medis militer.
Namun, jalan hidup membawanya pada profesi yang tak kalah mulia: Apoteker.
Dan di sinilah, di balik rak-rak obat dan resep, Ayu menemukan panggilan kemanusiaannya yang sesungguhnya.
“Banyaklah suka!” serunya antusias ketika ditanya tentang sukacita profesinya.
Sukanya bukan hanya pada ilmu farmasi, tapi pada interaksi manusia yang paling mendasar.
Ia sering “Ditanyain macem-macem tetang obat, dimintai pertimbangan sama tetangga“, dan menjadi tempat bertanya yang dipercaya.
Pengalaman bekerja di Rumah Sakit semakin memperdalam makna ini.
Ia dengan khusus menyebut interaksinya dengan pasien kanker dan pasien hemodialisa.
“Suka banget nyariin cuma buat ngobrol sama curhat saja,” ungkapnya.
Bagi Ayu, menjadi pendengar, memberikan waktu, dan kehadiran tulus bagi mereka yang sedang berjuang, sama pentingnya dengan memberikan obat.
Di sinilah jiwa sukarelawan kemanusiaannya menemukan saluran nyat, bukan dengan mengelilingi dunia, tetapi dengan menyentuh hati satu per satu di lingkungan terdekat.
Prinsip hidup Ayu sederhana namun mendalam: “Do something that makes you happy” (Lakukan sesuatu yang membuatmu bahagia).
Baginya, “Selama kita senang, semua akan jadi lebih mudah“.
Filosofi ini ia terapkan dalam berbagai aspek hidupnya.
Ia berhasil menggabungkan passion traveling dengan profesinya melalui program Erasmus selama 3 tahun, sebuah proyek yang memungkinkannya “Sekalian kerja sekalian traveling“.
Kesadaran akan pentingnya kesehatan juga lahir dari kebahagiaan dan tanggung jawabnya.
“Yang dibutuhkan kelak anak cucu saya adalah orang tua dan nenek yang panjang umur dan sehat,” jelasnya.
Olahraga dan menjaga pola hidup sehat bukan sekadar untuk diri sendiri, tapi, “So saya berkontribusi nantinya tidak merepotkan mereka”, sebuah bentuk kasih sayang yang visioner.
Harapan dan ajakan Ayu untuk semua orang sangatlah jelas dan praktis: “Mulai hidup sehat!”
Ia menekankan bahwa kesehatan adalah fondasi absolut dari segala aspek kehidupan.
“Sekarang yang terpenting baik bagi keluarga, pekerjaan, karir, ekonomi itu bergantung pada seberapa sehat tubuh kita, bener nggak?” tanyanya retoris.
Tanpa kesehatan, semuanya menjadi jauh lebih berat, bahkan mustahil.
Untuk menjaga keseimbangan hidup yang ia junjung tinggi, Ayu juga memiliki pesan bijak untuk kesehatan mental, dirangkum dalam sebuah quote yang powerful:
“You don’t have to be everyone’s cup of tea. Because some people only accept you when you’re successful and useful.”
Source image: ayu

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










