Caca Afad, Orang Lain Belum Tentu Sekuat Kamu!
Iniloh.com Jakarta- Udara Medan menyimpan ceritanya sendiri. Bagi Caca Afad, kota kelahirannya ini juga menyimpan luka: “Kalau boleh jujur, Caca hidup di kawasan yang menurut Caca toxic.”
Pernyataannya itu adalah pintu masuk ke dunia masa kecil yang tidak mudah. Ia tumbuh dalam keluarga yang meninggalkan jejak mendalam pada jiwanya.
“Dari kecil Caca hidup bersama keluarga yang terus membangkitkan apapun itu,” kalimatnya samar, menyiratkan dinamika yang kompleks.
Kehilangan ibunya lima tahun silam menambah duka, sementara sang ayah telah membangun keluarga baru.
Di tengah kesendirian itu, ia dan dua adik perempuannya menjadi tumpuan satu sama lain.
“Untungnya kami ber 3 saling merangkul satu sama lain,” ucapnya, menunjukkan benang emas di tengah kegelapan.
Namun, beban masa lalu terasa berat.
“Dari dulu saya selalu di rendahkan keluarga saya sendiri, saya merasa tidak aman, merasa tertekan, mental saya juga rusak.” Pengakuan jujurnya ini menyentuh hati.
Yang lebih memilukan, ia memilih diam: “Saya memilih tidak bersuara atas apa yang mereka lakuin.”
Ini adalah gambaran kepasrahan sekaligus pertahanan diri seorang yang terluka.
Tapi kisah Caca bukan sekadar tentang luka. Ini adalah kisah tentang penyelamatan oleh cinta yang dipilih sendiri.
Di titik terendahnya, cahaya datang dari orang-orang yang dengan sengaja ia lingkupi dalam hidupnya:
“Sekarang saya punya pacar yang benar-benar mengarahkan saya ke hal-hal baik, dia membuat saya merasa aman.” Ia menjadi kompas dan pelindung.
“Sahabat saya Cici, selalu mendengarkan saya tidak pernah sekali pun menghakimi saya.”
Dea pun, meski sama-sama keras kepala, memberinya rasa aman. Mereka adalah bukti nyata bahwa persahabatan bisa menjadi keluarga.
Ibu-Ibu Sahabat, Mama Cici, Mama Nabil, Ibu Ida, Bu Aisyah,”Mereka sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri, sedih melihat saya dan adik saya diperlakukan tidak adil.” Perhatian mereka adalah salep bagi luka yang ditinggalkan keluarga kandung.
Juga Sahabat Sang Pacar, “Kak Bella, Kak Nat, Kak Tira, dan Ka Hunny. Semua merespon saya dengan baik, mereka selalu menguatkan saya.“
Mereka inilah “keluarga pilihan” Caca – jaringan cinta dan dukungan yang ia bangun sendiri, menjadi benteng melawan toxicitas masa lalunya.
Di luar perjuangan emosionalnya, Caca menemukan pelarian dan bentuk self-love:
“Saya suka traveling, membuat pikiran saya tenang sejenak.” Menjauh sejenak untuk menemukan kedamaian. Saya juga suka berpakaian menarik… membuat saya menghargai diri saya sendiri.”
Ini adalah tindakan reklaimasi harga diri, sebuah pernyataan bahwa ia layak untuk merasa baik dan cantik.
Dari perjalanan beratnya, Caca membagikan tips untuk hidup yang lebih enjoy:
“Tinggalkan orang toxic. Tempatkan dirimu di mana kamu merasa aman dan keberadaanmu dihargai.”
Harapannya pun mencerminkan jiwa yang penuh syukur meski terluka:
“Semoga semua kebaikan pacar saya dibalas Tuhan berlipat ganda.
Semoga Tuhan memberi lindungan kepada orang-orang baik sekitar saya. dan Semoga orang baik di keliling saya sukses dan bahagia lahir dan batin.”
Pesan hidup dan quotes-nya adalah mutiara kebijaksanaan dari pengalaman pahit:
“Jangan pernah jahat ke manusia karena kita gatau batas sabar seseorang itu dimana.
Mungkin kamu ga seberuntung orang lain, tapi orang lain belum tentu sekuat kamu.
Tuhan benar-benar menguji ku dari kecil, tapi Tuhan ga lupa memberiku kebahagiaan di sela-sela kehancuran ku.”
Source image: caca

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










