Chakalica Widyadi Praja, Yang Retak Bukan Berarti Hancur!
Iniloh.com Jakarta- Ada sebuah pesan yang dititipkan sang simbah kepada cucu-cucunya, termasuk Chakalica Widyadi Praja: “Wong Jowo ojo ilang jowone.”
Di manapun berada, identitas sebagai orang Jawa jangan pernah hilang atau putus. Pesan ini menjadi kompas hidupnya.
Meski mengaku sebagai orang asli Jogja, dan meski Jogja adalah tempat yang nyaman, ia punya definisi lain tentang “rumah”.
Tempat paling nyaman adalah “pulang” ke Kudus, ke rumah orangtuanya, tempat sang Bapak dan Ibu berada.
Dan Jogja baginya adalah tempat asal usul yang istimewa, sebuah fondasi, tetapi inti dari segalanya adalah keluarga dan identitas yang tidak boleh luntur.
Bagi Chakalica, fondasi terpenting yang harus dimiliki seorang perempuan adalah pendidikan.
Dengan keyakinan yang teguh, ia menyatakan, “Tanpa pendidikan perempuan aku pikir kurang memiliki power.”
Baginya, pendidikan bukan sekadar ijazah, melainkan sumber daya untuk menjalani kehidupan.
Namun, ia juga memahami bahwa pendidikan formal hanyalah permulaan.
Kekuatan sejati dibangun melalui perpaduan yang dinamis: mental yang dibentuk dari ilmu, ketekunan yang ditempa pengalaman, kedewasaan yang tumbuh dari luka, dan kredibilitas yang dibangun dari konsistensi.
“Keberhasilan dan kemenangannya lahir dari setiap langkah yang berani diambil,” tambahnya.
Dalam perjalanannya yang penuh ups and downs, prinsipnya sederhana: yang penting mau menjalani dan terus bergerak ke depan.
Ketika ditanya tips semangat, Chakalica justru tidak memberikan formula motivasional yang bombastis.
Alih-alih, ia mengungkapkan sumber inspirasinya yang paling personal: keluarganya.
Ia ingin orangtuanya melihat bahwa anak didikan mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bahagia. Ia ingin anaknya memandangnya sebagai ibu yang mampu melakukan hal apapun dan tetap bahagia.
Dan ia ingin suaminya melihatnya sebagai cahaya yang tak pernah redup.
Visi ini bukan tentang pencapaian duniawi, tetapi tentang menjadi pusat kekuatan dan kebahagiaan bagi orang-orang terkasih. Inilah “mengapa” di balik semua perjuangannya.
Harapannya untuk masa depan pun dibangun di atas fondasi yang sama. Kesehatan adalah yang utama, agar bisa lebih lama bersama orang yang disayangi.
Keluarga adalah prioritas pertama: utuh, harmonis, dan bahagia.
Kemudian, kemapanan ekonomi dan karir, dan impian yang indah untuk keliling dunia sambil menikmati film dari berbagai belahan dunia.
Semua falsafah hidupnya ini menemukan bentuknya dalam sebuah ilmu yang sangat ia sukai: filsafat Kintsugi.
Seni Jepang kuno yang memperbaiki keramik retak dengan emas atau perak ini menjadi metafora yang sempurna bagi perjalanannya.
Kintsugi mengajarkan bahwa retakan dan pecahan bukanlah akhir, melainkan bagian dari sejarah sebuah benda yang justru membuatnya lebih indah, unik, dan berharga.
“Aku Belajar dari Kintsugi, bahwa yang retak bukan berarti hancur. Kadang, Justru di sanalah cahaya masuk dan mengubah luka menjadi keindahan.”
Source image: chakalica

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










