Dewi Junita, Jangan Takut Mulai, yang Perlu Cuma Keberanian dan Kemauan Belajar
Iniloh.com Jakarta- Jakarta, kota yang tak pernah berhenti berdenyut, melahirkan sosok-sosok inspiratif seperti Dewi Junita.
Perempuan yang akrab disapa Nongky ini lahir di kawasan elit Senopati, namun menghabiskan masa kecilnya di Cilandak, lingkungan yang dihuni mayoritas warga Betawi.
“Tetangga saya ramah dan royal, suka bagi-bagi makanan kalau ada acara. Tapi keluarga saya justru asli Bengkulu. Jadi, di rumah, budaya Sumatera masih terasa, meski saya nggak terlalu paham seluk-beluk Bengkulu,” ceritanya sambil tertawa.
Kombinasi antara kearifan Betawi dan ketegasan Sumatera inilah yang membentuknya menjadi pribadi hangat sekaligus gigih.
Siapa sangka, perempuan yang kini dikenal sebagai kreator konten @bunnynongky ini pernah mendapat nilai terburuk di mata kuliah media sosial saat kuliah.
“Saya introvert, nggak jago desain, editing ala kadarnya. Dosen sampai bilang, ‘Dewi, kamu harus banyak belajar!’” kenangnya.
Namun, kegagalan akademis justru memantik tekadnya.
Terinspirasi oleh selebgram yang sukses tanpa latar belakang formal, ia memberanikan diri mencoba review produk secara iseng di Instagram.
Tak disangka, brand langsung mengirim direct message menawarkan kerja sama.
“Pertama kali dibayar Rp200 ribu, seneng banget! Akhirnya saya pikir, ‘Kenapa nggak diterusin?’” ujarnya.
Dunia digital ternyata tak semudah yang dibayangkan.
Sebagai micro-influencer, Dewi kerap dihadapkan pada tekanan dari brand yang membandingkannya dengan influencer besar atau selebritis.
“Mereka suka komentar, ‘Insight-nya kecil, penampilannya kurang aesthetic, cara editnya kurang profesional’,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kesenjangan sosial di industri ini: “Influencer makro bisa dapat job ratusan juta, sementara kami harus negosiasi mati-matian untuk fee yang jauh lebih kecil.”
Tapi, ia tak menyerah. Dewi memilih fokus pada keunikan kontennya.
“Saya nggak mau jadi copy-paste orang lain. Justru kelebihan saya di konten yang relatable, kayak temen ngobrol biasa,” katanya.
Untuk tetap kompetitif, Dewi rajin mengikuti perkembangan teknologi, termasuk AI.
“Saya pakai tools AI buat analisis engagement, cari ide konten, sampai bikin caption. Tapi, tetap harus diseleksi biar authentic-nya nggak hilang,” jelasnya.
Ia juga tak ketinggalan memantau tren terbaru, dari challenge TikTok hingga format Reels Instagram.
“Kuncinya: adaptasi cepat, tapi jangan ikutin semua tren. Pilih yang sesuai branding,” tambahnya.
Bagi Dewi, keterbatasan bukan halangan. Dari kamar kosnya dulu, ia membuktikan bahwa konten berkualitas bisa dibuat hanya dengan smartphone.
“Lighting pakai lampu meja, edit pakai aplikasi gratis, lokasi di pinggir jalan. Yang penting ide kreatif dan konsisten,” ujarnya.
Ia pun berpesan: “Jangan takut mulai! Nggak perlu nunggu punya kamera mahal atau skill editing tingkat dewa. Yang perlu ada cuma keberanian dan kemauan belajar.”
Source image: dewi, agung

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










