Divira Vidya Ananda, Harus Tetap Berusaha Menjadi Lebih Baik
Iniloh.com Jakarta- Bagi Divira Vidya Ananda, Denpasar, Bali bukan hanya tempat tumbuh, tapi kanvas kenangan yang diwarnai riuh rendah keluarga besar.
Meski rumahnya yang terletak “dipinggir jalan utama” membatasi interaksi dengan tetangga, kekosongan itu terisi penuh oleh kehangatan keluarga besar yang luar biasa dekat.
“Yang paling berkesan itu keluarga besarku,” ungkapnya.
Hubungan mereka digambarkannya “Deket banget satu sama lain kayak sodara kandung”.
Sepupu bukanlah kerabat jauh, melainkan “temen kecilku“. Pusat kehangatan itu adalah rumah kakek nenek di Denpasar, tempat mereka “sering tinggal bareng”.
Tradisi kebersamaan itu terjalin kuat, dimulai dari “rutin tiap tahun jalan-jalan kemana gitu” saat kecil, hingga kebiasaan yang bertahan meski kini “ga full squad“. Di tengah denyut kota Denpasar, ikatan darah yang erat inilah yang menjadi rumah sejati Divira.
Setelah menyelesaikan masa studinya, Divira tidak menempuh jalur karir konvensional. “Aku waktu skripsi langsung kerja sama mama,” ceritanya.
Pilihannya langsung terjun ke dunia usaha bersama sang ibu ini menunjukkan kedekatan dan kepercayaan unik dalam hubungan mereka.
Ia memulai karir sebagai Sales di perusahaan manajemen akomodasi.
Pekerjaan ini ia geluti sejak dua tahun lalu, tepat setelah ia graduate, membuktikan bahwa transisi dari bangku kuliah ke dunia profesional bisa memiliki bentuk yang sangat personal.
Sebagai sales di bidang akomodasi, Divira mengalami dinamika khas. “Sukanya bisa sambil jalan-jalan,” akunya.
Aspek mobilitas dan kesempatan untuk menjelajah ini tentu menjadi nilai tambah yang menyenangkan, apalagi di lokasi seindah Bali.
Namun, tuntutan pekerjaan juga nyata. “Dukanya karena jadi sales harus banyak ngomong dan menjelaskan produk, kadang aku energy drained,” ujarnya jujur.
Interaksi intens dan upaya terus-menerus meyakinkan klien bisa sangat menguras energi, terutama bagi seorang introvert atau mereka yang membutuhkan waktu untuk recharge.
Yang menarik adalah sikap Divira menghadapi tekanan ini. “Tapi ini sesuai sama keinginanku, jadi aku santuy aja stress dikit.” Kata “santuy” (santai) yang ia gunakan mencerminkan penerimaan dan ketenangannya.
Ia memilih untuk tidak larut dalam stres, karena sadar bahwa pekerjaan ini memang pilihannya sendiri. Ada kesadaran dan keteguhan dalam kesederhanaan kata-katanya.
Di antara riuhnya dunia kerja, Divira menyimpan harapan-harapan sederhana yang sarat makna.
Untuk keluarga kecilnya, ia memendam doa agar mereka “bisa tumbuh bersama terus“, sebuah kerinduan akan perkembangan beriringan dan kebersamaan yang langgeng.
Sedangkan untuk keluarga besarnya yang selalu ia rindukan, seruannya tulus:
“Ayok cepet-cepet kumpul lagi!”
Sementara untuk diri sendiri, ia berharap menjadi pribadi yang “lebih tahan banting dan sabar ngadepin orang lain”, sebuah permohonan untuk ketangguhan mental.
Tak lupa, tekad praktisnya: “rajin olahraga biar sehat ” menunjukkan kesadaran bahwa kesehatan fisik adalah penopang segala kesibukannya.
Namun, pilihannya bekerja bersama ibu kerap dipertanyakan orang. “Apa serunya?” atau “Apa hebatnya?” menjadi komentar yang kerap ia dengar.
Menanggapi ini, Divira justru menjawab dengan bijak yang menggetarkan:
“Mungkin garis start orang beda-beda,” akunya penuh kesadaran, “tapi yang jelas kita semua udah berusaha dan harus tetap berusaha jadi yang lebih baik.”
Ia menutup dengan keyakinan yang menggugah: “Karena kita semua orang hebat, beda jalannya aja.”
Source image: divira

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










