Habsyah Amalia Andriani, Hidup Ini Tentang Proses Bukan Hasil
Iniloh.com Jakarta- Di antara hamparan kebun sawit dan derrigis sumur minyak di Kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, Riau, tumbuhlah seorang perempuan tangguh yang menjadikan gunung sebagai guru kehidupan.
Dialah Habsyah Amalia Andriani, atau akrab disapa Lia. Perempuan 25 tahun ini tak hanya menaklukkan puncak-puncak tinggi, tetapi juga membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk meraih kebebasan.
Lia menghirup udara pertama kali di Lirik kecamatan yang dikenal sebagai penghasil minyak bumi dan dikelilingi lahan sawit subur.
Sejak kecil, ia akrab dengan gemuruh truk pengangkut kelapa sawit dan deru mesin pengeboran.
Namun, hidupnya tak semudah kekayaan alam yang mengelilingi. Setelah kepergian ibunda, Lia kecil belajar mandiri.
“Saya harus bisa mengurus diri sendiri sejak SMP. Ayah bekerja keras, jadi saya tak ingin membebani beliau,” kenangnya.
Pendidikannya sempat terombang-ambing. Setelah lulus SD di Lirik, ia pindah ke kabupaten sebelah untuk SMP dan SMK. Tapi hati selalu rindu pada kampung halaman.
“Lirik itu seperti magnet. Meski sederhana, di sini saya merasa punya tanah yang selalu menyambut pulang,” ujarnya.
Kini, ia kembali menetap di Lirik, menjadikan gunung-gunung Riau sebagai saksi perjalanan kedewasaannya.
Kecintaan Lia pada alam diawali dari kegiatan pramuka di sekolah.
Saat teman-teman seusianya sibuk dengan gawai, ia justru asyik menyusun rencana camping di hutan.
“Pertama kali menginjakkan kaki di hutan, saya terpana. Ada rasa damai yang tak bisa dibeli. Sejak itu, saya jatuh cinta pada kegiatan outdoor,” ceritanya.
Awalnya, ia hanya ikut ekskursi sekolah. Tapi lambat laun, gunung-gunung di sekitarnya seperti memanggil. Pendakian pertamanya ke Bukit Suligi di Riau menjadi titik balik.
“Sampai di puncak, saya sadar: hidup ini tentang proses, bukan hasil. Seperti mendaki, yang penting langkahnya konsisten,” ujar perempuan yang kini telah menjejakkan kaki di 15 gunung di Sumatera itu.
Bagi Lia, mendaki adalah cara ia “berkomunikasi” dengan diri sendiri sekaligus menjalin ikatan dengan orang lain.
“Setiap pendakian memberi cerita baru. Saya pernah bertemu kakek 70 tahun yang masih gesit mendaki, atau mahasiswa dari Jawa yang ternyata sepemikiran,” ungkapnya dengan mata berbinar.
Namun, jalan menuju puncak tak selalu mulus. Ia kerap dihadapkan pada rencana yang gagal karena cuaca ekstrem atau masalah logistik.
“Pernah semua persiapan matang, tapi tiba-tiba gunung ditutup akibat kebakaran hutan. Rasanya seperti dihantam batu,” keluhnya.
Tapi ia tak menyerah. “Kegagalan justru mengajarkan fleksibilitas. Kadang, kita harus rela mengubah rute atau menunggu waktu yang tepat,” tambahnya.
Di balik jiwa petualangnya, Lia punya impian sederhana: mandiri secara finansial dan terus menjelajah.
“Saya ingin punya usaha kecil-kecilan di Lirik, sekaligus tetap bisa mendaki. Tidak perlu kaya, yang penting bisa menghidupi diri dan membantu keluarga,” ucapnya.
Ia juga berharap bisa secepatnya kembali ke gunung setelah jeda panjang akibat pandemi.
“Gunung itu seperti terapi. Di sana, saya ingat betapa kecilnya manusia, tapi juga betapa besar potensi yang kita miliki,” ujarnya.
Lia kerap membagikan motto hidupnya di media sosial:
“Jangan pernah menyerah. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?”. Kalimat ini ia buktikan sendiri.
Dulu, ia hanya gadis desa yang tak punya perlengkapan hiking mewah. Kini, ia paham bahwa passion lebih berharga daripada gear mahal.
“Banyak yang bilang mendaki itu berbahaya atau butuh biaya besar. Tapi mulai saja dulu dari gunung-gunung kecil di sekitar kita. Yang penting, niat dan persiapan matang,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya memahami alam:
“Jangan hanya datang untuk foto-foto. Hormati budaya lokal, jaga kebersihan, dan dengarkan petunjuk guide.”
Kini, Lia sedang merencanakan ekspedisi ke Gunung Kerinci, puncak tertinggi di Sumatera. Impian besarnya? Membuka komunitas pendaki perempuan di Riau.
“Saya ingin perempuan-perempuan di sini tahu: kita punya hak yang sama untuk menjelajah. Jangan biarkan stigma membatasi langkah!” serunya bersemangat.
Melalui kisah Habsyah Amalia Andriani, kita diajak melihat bahwa gunung bukan sekadar gundukan tanah, melainkan cermin ketangguhan manusia.
Dari Lirik yang sunyi, Lia membuktikan: Selama ada kemauan, bahkan sawit dan sumur minyak pun bisa menjadi saksi bisu sebuah perjalanan heroik.
Source image: lia

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










