Istiana, Kita Itu Nggak Perlu Jadi Lebih Baik dari Orang Lain!
Iniloh.com Jakarta- Di dunia yang seringkali terobsesi dengan pencapaian gemilang dan kehidupan yang stabil, ada sebuah kisah indah tentang menemukan makna dalam ketidakpastian.
Ia adalah Istiana, seorang perempuan yang menyebut dirinya seorang “nomaden”, yang justru menemukan rumah di setiap perantauannya.
Peta hidup Istiana adalah mozaik yang kaya. Ayahnya berasal dari suku Semendo di Sumatera Selatan, ibunya dari Bengkulu, dan ia sendiri lahir di Lampung.
Namun, masa kecilnya dihabiskan di kota kecil Muara Teweh, Kalimantan Tengah.
Sejak itu, hidupnya adalah rangkaian perpindahan: Banjarmasin, Palangka Raya, Sanana di Maluku Utara, hingga kini ia menetap sementara di Baturaja, Sumatera Selatan, dengan homebase di Jakarta Barat.
Daripada mengeluh, ia justru mensyukuri perjalanan ini.
“Saya menikmati tinggal di setiap daerah itu,” ujarnya.
Setiap perpindahan adalah sekolah kehidupan, mengajarkannya untuk beradaptasi dan lebih menghargai keberagaman suku, agama, dan bahasa.
“Setiap daerah punya keunikan yang bakal saya rindukan terus,” tambahnya, penuh rasa terima kasih.
Sebelum menikah, Istiana membangun karier di bidang farmasi.
Setelah menikah, ia memilih untuk berhenti dan menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT), mengikuti suami yang bertugas di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T). Hidup di sana penuh tantangan.
“Apa-apa mahal, apa-apa jauh, jauh dari keluarga, mau pulang harus effort 2 hari perjalanan,” ia mengakui.
Tapi, dalam kesulitan itu, Istiana justru menemukan kebahagiaannya. Alih-alih pasif, ia aktif mengisi waktunya dengan segudang kegiatan.
Ia menjadi relawan untuk Indonesia Mengajar, menjelajahi alam, dan tak kenal takut mempelajari hal-hal baru seperti freedive dan tenis.
Hobi masaknya ia salurkan dengan berjualan makanan.
Di tengah kesendirian, ia menemukan keluarga baru: tiga ekor kucing yang dirawatnya sejak berumur satu minggu.
Akun Instagram ketiga kucingnya, @kucinggbk, yang awalnya iseng, kini justru memiliki banyak penggemar militan.
Setiap aktivitasnya adalah sebuah pelajaran. Dalam tenis, meski awalnya “susah sekalii”, kegigihannya membawanya hingga bisa mewakili turnamen di Padang. Dari berkebun, ia belajar filosofi kesabaran:
“Ternyata menanam itu gak perlu buru-buru, pelan-pelan bisaa kok.”
Ia percaya pada proses, belajar dari kegagalan, dan terus mengevaluasi.
Namun, pelajaran hidup terdalam mungkin datang dari tiga anak kucingnya. Awalnya tidak terlalu menyukai kucing, kini ia menemukan sebuah kebenaran.
“Ternyata ada loh mahluk yang mencintai kita dengan tulus, tanpa pamrih tapi mereka tidak pernah bilang itu. Tapi kita dapat merasakan cinta mereka.”
Di tengah petualangannya, harapan Istiana begitu sederhana dan membumi. Ia hanya menginginkan keluarganya sehat, baik secara mental, fisik, maupun finansial. Ia telah belajar untuk tidak berekspektasi berlebihan.
“Ya sudah gak papa, memang harus di lewati. Yang penting sehat,” ujarnya, mencerminkan kedewasaan dalam menerima takdir.
Pesan yang ingin ia sampaikan kepada semua pembaca pun lahir dari perjalanan panjangnya, sebuah mantra yang powerful untuk melawan perbandingan sosial:
“Kita itu gak perlu jadi lebih baik dari orang lain, kita hanya perlu jadi versi lebih baik dari kita yang kemarin.”
Source image: istiana

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










