Masa Depan Adopsi Kripto di Era Trump dan Implikasinya bagi Indonesia
Oleh: Prof. Asc. David Darmawan
(Analis kebijakan digital dan praktisi blockchain)
Kemenangan Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat 2024 telah membawa arah baru dalam kebijakan keuangan digital global. Jika pada masa sebelumnya pemerintahan AS cenderung berhati-hati terhadap kripto, kini Trump justru mendorongnya sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional.
Langkah ini memunculkan efek domino di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang kini dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah kripto akan menjadi peluang emas, atau justru ancaman bagi stabilitas ekonomi nasional?
Kebijakan Baru Trump: Dari Larangan CBDC hingga Cadangan Bitcoin Nasional
Pada Januari 2025, Trump menandatangani Executive Order 14178 tentang “Strengthening American Leadership in Digital Financial Technology.”
Perintah eksekutif ini secara resmi mencabut kebijakan lama pemerintahan Biden, dan menandai perubahan besar: Amerika Serikat melarang penerbitan mata uang digital bank sentral (CBDC), namun membuka lebar pintu bagi industri aset digital seperti Bitcoin, Ethereum, hingga stablecoin.
Lebih jauh, Gedung Putih membentuk interagency working group yang melibatkan Departemen Keuangan, SEC, CFTC, dan lembaga hukum lainnya untuk menyusun kerangka regulasi federal atas aset digital dalam waktu 180 hari.
Pemerintah bahkan mengumumkan rencana memiliki cadangan strategis Bitcoin nasional, menjadikan kripto sebagai bagian dari kebijakan keuangan strategis Amerika.
Langkah ini disusul oleh pengesahan GENIUS Act pada Juli 2025, yang menjadi dasar hukum pertama di AS untuk mengatur stablecoin secara nasional. Sinyalnya jelas: Amerika kini tidak lagi melihat kripto sebagai ancaman, melainkan sebagai instrumen ekonomi masa depan.
Dampak Global: AS Kembali Jadi Kompas Regulasi Dunia
Kebijakan pro-kripto di bawah Trump dengan cepat mengubah lanskap global. Negara-negara sekutu dan mitra dagang AS mulai meninjau kembali strategi digital finance mereka.
Bagi dunia, kebijakan ini menandakan tiga hal penting:
Posisi Indonesia Saat Ini
Indonesia telah mengakui kripto sebagai aset komoditas digital yang sah diperdagangkan melalui Bappebti. Namun, kripto belum diizinkan sebagai alat pembayaran resmi — ranah yang masih dipegang ketat oleh Bank Indonesia (BI).
Sementara itu, OJK terus memperluas pengawasan terhadap fintech dan aset digital, dan BI tengah menyiapkan Digital Rupiah (Project Garuda) sebagai versi Indonesia dari CBDC.
Dengan tiga lembaga yang memiliki mandat berbeda — BI, OJK, dan Bappebti — kebijakan kripto di Indonesia masih bersifat fragmented. Ini menciptakan ketidakpastian bagi investor maupun inovator Web3 lokal.
Prof. Asc. David Darmawan CEO Socentix yang juga pembuat platform kripto BETAWI atau Blockchain Electronik Trading Aplication For Whatwat System ini memberikan beberapa opsional atau skenario terbaik, peluang Indonesia dan kripto di masa depan.
Skenario Terbaik: Indonesia Jadi Pusat Ekonomi Kripto Asia Tenggara
Jika pemerintah mampu menata koordinasi lintas lembaga dan menyiapkan kerangka hukum terpadu, misalnya dalam bentuk Undang-Undang Aset Digital Nasional Indonesia berpotensi menjadi pemain besar di kawasan.
Beberapa peluang yang bisa muncul seperti Integrasi sistem keuangan dan aset digital. Bank dan fintech bisa menawarkan layanan kustodian, pinjaman berbasis token, atau stablecoin berdenominasi Rupiah.
Lalu Arah investasi baru untuk generasi muda yakni kripto menjadi instrumen produktif, bukan sekadar spekulasi. Kemudian Daya saing regional meningkat. Indonesia dapat menyaingi Singapura dan Dubai sebagai crypto-friendly jurisdiction di Asia Tenggara. Dan yang terakhir Ekosistem kreatif berbasis blockchain. Tokenisasi karya seni, hasil pertanian, hingga proyek pariwisata bisa menjadi sumber ekonomi baru.
Dengan arah kebijakan seperti Amerika, pro-inovasi tapi tetap diawasi Indonesia berpotensi memimpin ekonomi digital berbasis blockchain di Asia.
Jika ada skenario terbaik pastinya ada skenario terburuk dan jalan tengah, seperti untuk yang terburuk: Regulasi Lambat, Pasar Bocor, dan Ketertinggalan Teknologi
Sebaliknya, jika regulasi Indonesia tetap berjalan parsial, risiko besar menanti:
- Tumpang tindih kewenangan antara BI, OJK, dan Bappebti menciptakan ketidakpastian hukum.
- Inovator Web3 dan investor lokal akan hengkang ke negara tetangga yang lebih ramah regulasi.
- Stablecoin asing bisa menggantikan peran Rupiah digital dalam transaksi lintas batas.
- Kehilangan potensi pajak dari transaksi kripto yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.
Lebih jauh lagi , jika proyek Digital Rupiah tidak segera direalisasikan, Indonesia bisa tertinggal dalam transformasi moneter regional. Dalam skenario ini, kripto tetap berkembang, tapi di luar kendali nasional, tanpa manfaat ekonomi signifikan bagi negara.
Dan Strategi Jalan Tengah: “Inovasi Terkendali. Ini adalah Solusi terbaik bagi Indonesia adalah menjadi pro-kripto tanpa kehilangan kedaulatan moneter. Seperti di regulasi dengan satu payung hukum nasioanl atau Digital Asset Act, pajak dengan pelaporan otomatis transaksi kripto ke DJP, pengembangan stablecin Rupiah berbasis bank nasional, perbankan diberi ijin kustodian aset digital serta masih banyak langkah tengah lainnya.
Momentum Emas bagi Indonesia
Kebijakan pro-kripto Trump bukan sekadar langkah ekonomi Amerika, tetapi penanda era baru keuangan global.
Negara-negara yang cepat menyesuaikan diri akan memetik keuntungan jangka panjang: peningkatan investasi, transformasi industri keuangan, dan lahirnya generasi baru ekonomi digital.
Indonesia memiliki semua modal: populasi besar, basis pengguna kripto aktif, serta ekosistem startup Web3 yang terus tumbuh.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk melangkah serempak, menata regulasi, memperkuat ekosistem, dan menjadikan kripto bukan ancaman, melainkan bagian dari masa depan ekonomi nasional.

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










