Nur Eka, Hidup Bukan Perlombaan Tapi Proses Selaraskan Hati dan Pikiran
Iniloh.com Jakarta- Nur Eka, perempuan yang akrab disapa Eka, memilih bertahan di Jogja bukan tanpa alasan.
Di tengah gemuruh modernisasi, ia memilih hidup tenang di Organic Omah Bening, rumah impiannya yang berdiri di pinggir persawahan.
Di sana, ia menanam beragam buah, sayur, dan tanaman organik, sambil merancang ruang berkegiatan untuk komunitas.
“Tempat ini sesuai dengan hasrat hati saya: dekat dengan alam, keluarga, dan orang tua,” ujarnya.
Baginya, Jogja bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang di mana ia menemukan makna kesederhanaan dan kebersamaan.
Kisah Eka dengan yoga dan meditasi dimulai pada 2004, saat ia masih bekerja di kantor. Di tengah rutinitas yang melelahkan, ia merasakan dorongan untuk mencari keseimbangan.
Setahun sebelum memutuskan resign, ia mengambil teacher training yoga dengan tujuan awal sederhana: mempraktikkan ilmu tersebut untuk diri sendiri dan keluarga.
Namun, lambat laut, pengetahuannya meluas. Ia mulai membagikan yoga ke teman dan saudara, bahkan menggali meditasi sebagai sarana self-healing.
“Meditasi membantu saya menenangkan diri dari tekanan pekerjaan,” tuturnya.
Ia tak setengah-setengah belajar.
Pada Mei 2006, Eka berguru pada almarhum Reza Gunawan, pionir meditasi di Indonesia. Selanjutnya, ia belajar dari Adjie Santosoputro, Pak Noeryanto A Dhipuro, hingga mengikuti retret meditasi di Vihara Mendut.
Tak hanya itu, ia juga menempuh teacher training meditasi di Bandung dan Ubud, serta mengikuti beragam kelas pengembangan diri seperti Leadership Inside Out dan Millioner Mindset Bootcamp.
“Proses ini seperti membuka tabir: saya akhirnya paham bahwa hidup tak hanya tentang bekerja, tapi juga bertumbuh,” ungkapnya.
Ketika ditanya tentang suka duka perjalanannya, Eka tersenyum. “Suka terbesarnya adalah menemukan tujuan hidup.Duka? Relatif tidak ada,” ujarnya.
Baginya, bertemu orang-orang “unik” selama perjalanan justru menjadi pembelajaran berharga.
“Setiap interaksi mengajarkan saya untuk lebih memahami manusia dan diri sendiri,” tambahnya.
Ia meyakini bahwa dinamika hidup, termasuk pertemuan dengan karakter berbeda, adalah bagian dari harmoni yang perlu disyukuri.
Eka memiliki harapan universal namun mendalam: ia ingin semua orang, diri sendiri, keluarga, hingga orang asing memiliki kesadaran untuk terus bertumbuh.
“Kesadaran menerima segala hal sebagai bagian dari proses hidup itu penting. Seperti sawah di depan rumah saya: ada masa tanam, panen, dan istirahat. Semua punya waktunya,” katanya.
Bagi Eka, penerimaan bukanlah pasrah, tapi sikap aktif untuk belajar dari setiap fase.
Pesan Eka sederhana namun penuh makna:
“Terima, syukuri, dan jalani apa yang hadir dalam hidup.”
Ia mengingatkan bahwa tak ada yang permanen.
“Sedih dan bahagia silih berganti, seperti siang dan malam. Itulah keseimbangan,” ujarnya.
Filosofi ini tercermin dalam kesehariannya: merawat tanaman, berbagi ilmu yoga, atau sekadar duduk hening di beranda Omah Bening sambil menikmati desau angin sawah.
Melalui akun Instagram @nureka_omahbening, Eka membagikan potret kehidupannya yang damai.
Dari foto kebun organiknya yang hijau hingga dokumentasi kegiatan komunitas, ia ingin menginspirasi orang lain untuk hidup selaras dengan alam dan diri sendiri.
Unggahannya kerap diiringi kutipan bijak, seperti: “Hidup bukanlah perlombaan, tapi proses menyelaraskan hati dan pikiran.”
Source image: eka

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










