Nur Fadillah, Melalui Banyak Hal Buat Kita Jadi Tersenyum
Iniloh.com Jakarta- Nur Fadillah lahir di Jakarta, namun Bogor adalah tempat yang membesarkan jiwanya.
Masa kecilnya dihabiskan antara dua kota Jakarta yang ramai dan Bogor yang lembut.
Ia sempat tinggal di Jakarta hingga kelas tiga SD, sebelum akhirnya kembali ke Bogor dan tumbuh dewasa di kabupaten yang penuh ketenangan.
Bagi Fadillah, Bogor bukan sekadar tempat tinggal. Ia mencintai aroma tanah setelah hujan, suasana rumah yang kekeluargaan, dan kesunyian malam Bogor yang berbeda dari hiruk-pikuk Jakarta.
Di sanalah ia merasa pulang. Di sanalah ia menemukan ruang untuk bernapas.
Saat ini Fadillah sedang menunggu wisuda, namun perjalanan literasinya sudah dimulai jauh sebelum ia mendapat gelar akademik.
Pengalaman paling berkesan baginya justru saat menjadi pengajar dan ketika terpilih sebagai Duta Baca Kabupaten Bogor, sebuah titik balik yang membuka banyak pintu di dunia pendidikan, sosial, dan pengabdian masyarakat.
Namun, Duta Baca hanyalah label. Lebih dari itu, Fadillah memang sudah jatuh cinta pada dunia literasi, kesehatan mental, dan psikologi sejak lama.
Dengan latar belakangnya sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk membagikan ilmu.
Tidak hanya lewat kelas dan kegiatan volunteering, tapi juga melalui konten edukatif yang ia bangun di media sosial.
Di balik semua itu, ada alasan yang membuat langkahnya semakin bermakna: ia adalah penyintas autoimun dan bipolar.
Pengalaman pribadi itulah yang kini menjadi bahan bakarnya untuk memberikan semangat kepada penyintas lain mereka yang mungkin sedang berjuang dalam diam, seperti dirinya dulu.
Sebagai seorang ekstrovert, Fadillah mendapatkan energi dari pertemuan, percakapan, dan bertukar cerita.
Ia senang ketika bisa berbagi pengalaman dan ilmu kepada banyak orang. Tapi hidup mengajarkannya bahwa tidak semua hari bisa dijalani dengan langkah cepat.
Autoimun membuat tubuhnya tidak selalu kuat. Bipolar mengharuskannya berhenti ketika pikiran mulai terasa berat.
Ada masa-masa ketika ia harus mundur, menepi, dan menata diri. Masa ketika diam justru menjadi bentuk pertahanan terbaik.
Dari perjalanan itulah ia belajar satu hal yang sangat penting:
Berhenti bukan berarti gagal. Berhenti adalah cara tubuh dan hati berkata, “Istirahatlah, kamu sudah berjalan jauh.”
Menjaga Keseimbangan, Membangun Masa Depan
Ke depan, Fadillah berharap bisa menemukan keseimbangan antara karier, kesehatan, dan kebahagiaan.
Ia ingin tetap bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain tanpa harus memaksa diri melewati batas.
Untuk keluarga, ia berharap mereka tetap stabil dan selalu bersama dalam kebaikan. Ia merasa kedekatan mereka justru tumbuh setelah ia sakit, sebuah hal kecil yang sangat ia syukuri.
Dalam karier, Fadillah ingin tetap melangkah di jalur pendidikan dan sosial. Ia ingin menjadi guru profesional bergelar Gr, atau konselor, bahkan mungkin mengabdi sebagai ASN.
Jalan ke sana memang panjang, butuh waktu dan biaya, namun ia percaya bahwa langkah kecil juga merupakan perjalanan.
Dan untuk dirinya sendiri, ia selalu membawa pengingat ini:
“Kamu sudah melalui banyak hal manis maupun pahit.
Tapi ingat, ada pedas yang bikin nagih, asam yang menyegarkan, pahit yang menyehatkan, dan manis yang membuatmu kembali tersenyum.”
Di antara aroma tanah Bogor, kesunyian malamnya, dan perjalanan panjangnya sebagai penyintas, Fadillah terus melangkah pelan, stabil, dan penuh makna.
Ia berjalan untuk tumbuh, untuk sembuh, dan untuk berbagi cahaya kepada siapa pun yang membutuhkan.
Source image: nur fadillah

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










