Siti Katoemi Wirodihardjo: Perempuan Priyayi dari Purworejo, Penjaga Nilai di Balik Dinasti Djojohadikusumo
Iniloh.com Jakarta- Awal abad ke-20 di Purworejo, Jawa Tengah, menjadi saksi lahirnya seorang perempuan yang kelak menjadi bagian penting dari sejarah keluarga besar Djojohadikusumo: Siti Katoemi Wirodihardjo, lahir di kabupaten yang jadi basis Perang Jawa pada tahun 1901.
Ia datang dari keluarga priyayi terdidik dan terpandang.
Ayahnya, Dr. Raden Kahono Wirodihardjo, dikenal sebagai salah satu dokter pribumi pertama di daerahnya, sementara ibunya, Raden Ayu Wirodihardjo, berasal dari keluarga bangsawan Kartasura.
Dari pihak ayah, garis darah Siti Katoemi bersambung kepada Kanjeng Raden Tumenggung Wirodigdo, seorang Bupati Nayaka di Kartasura, dan dari pihak ibu kepada Raden Ayu Kistaboen, keturunan Pangeran Singasari alias Pangeran Prabujoyo Adi Senopati Ingalogo, yang dikenal pula sebagai Sunan Malang — putra dari Susuhunan Amangkurat IV.
Dengan silsilah ini, Siti Katoemi tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai Jawa klasik: hormat kepada orang tua, disiplin, dan berpendidikan.
Nilai-nilai itulah yang kelak diwariskannya kepada anak-anaknya, yang sebagian besar menjadi tokoh penting dalam sejarah republik.
Pada tahun 1915, di usia yang masih sangat muda baru 14 tahun, Siti Katoemi menikah dengan seorang pemuda berusia 21 tahun bernama Raden Mas Margono Djojohadikusumo, putra dari keluarga priyayi Banyumas di Purworejo.
Margono dikenal sebagai sosok idealis dan haus ilmu. Ia bekerja sebagai pegawai keuangan kolonial dan gemar membaca surat kabar De Expres, media yang menjadi wadah pemikiran nasionalis seperti E.F.E. Douwes Dekker.
Bahkan, ketika Douwes Dekker berpidato di Purworejo, Margono muda menyempatkan diri hadir untuk mendengarkan dan menyerap gagasan-gagasan kebangsaan.
Pertemuan antara Margono dan Siti Katoemi adalah perjumpaan dua dunia: Banyumas yang egaliter dan Kartasura-Purworejo yang aristokratik.
Dari pernikahan itu, terbentuklah keluarga yang kelak menjadi jembatan antara tradisi Jawa dan kebangsaan modern Indonesia.
Kehidupan rumah tangga mereka berjalan di tengah masa penuh gejolak sosial.
Hindia Belanda saat itu sedang mengalami perubahan besar, sekolah modern mulai dibuka, kaum priyayi mulai mendapat akses pendidikan tinggi, dan benih-benih nasionalisme tumbuh di kalangan terpelajar.
Siti Katoemi memainkan perannya dengan keteguhan seorang perempuan Jawa.
Ia menjadi penjaga harmoni rumah, mendukung karier suaminya yang terus menanjak di pemerintahan kolonial hingga masa republik.
Margono kelak dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Dari pernikahan ini lahir lima anak: Soemitro Djojohadikoesoemo, Soekartini, Soebianto, Soejono, dan seorang lagi yang meninggal muda.
Siti Katoemi mendidik mereka dengan disiplin, menanamkan nilai kejujuran, kesederhanaan, serta semangat belajar.
Nilai-nilai itulah yang kemudian menjelma dalam diri Soemitro Djojohadikoesoemo, putra keduanya, yang dikenal sebagai ekonom besar, menteri keuangan, dan arsitek kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Dari garis inilah lahir Prabowo Subianto, cucu yang kelak menjadi tokoh politik dan calon presiden Indonesia.
Siti Katoemi mungkin tidak pernah tampil di panggung politik atau publik, tetapi perannya begitu besar di balik layar.
Ia hidup di masa ketika perempuan Jawa lebih sering ditempatkan di ranah domestik, namun dari ruang itulah ia membentuk fondasi keluarga yang kuat.
Ia memahami bahwa perjuangan tidak selalu dilakukan dengan mengangkat senjata atau berpidato tetapi juga dengan membentuk karakter generasi penerus.
Rumahnya menjadi tempat Margono menulis, berdiskusi, dan menanamkan cita-cita kebangsaan kepada anak-anaknya.
Banyak yang menggambarkan Siti Katoemi sebagai sosok yang tenang, religius, dan penuh kasih.
Ia adalah cermin perempuan Jawa yang memadukan kelembutan dengan keteguhan.
Dalam tradisi keluarga, namanya disebut dengan penuh hormat bukan hanya karena darah biru yang diwariskan, tetapi karena kebijaksanaan yang ditinggalkan.
Siti Katoemi merupakan saudari dari ekonom ternama, Saroso Wirodihardjo dan juga ipar dari Prof. Dr. Julie Sulianto Saroso, puteri no 2 dari priyayi Purworejo Grabag: dr Mas Muhammad Sulaiman.
Siti Katoemi Wirodihardjo wafat pada tahun 1988, di usia 87 tahun, setelah menyaksikan berbagai fase sejarah yang luar biasa — dari masa kolonial, pendudukan Jepang, kemerdekaan, hingga masa republik modern.
Ia meninggalkan warisan yang jauh melampaui garis keturunan: tradisi intelektual, kesetiaan terhadap nilai, dan semangat pengabdian.
Dari tangan lembutnya lahir generasi yang tak hanya cemerlang di bidang ekonomi dan politik, tetapi juga tetap menjunjung nilai-nilai moral keluarga Jawa.
Nama Siti Katoemi memang tidak tercatat dalam buku teks sejarah, tetapi kisahnya hidup dalam perjalanan anak dan cucunya sebagai bukti bahwa perempuan di balik layar sering kali memegang peran terpenting dalam membentuk arah bangsa.
Ikhtisar ringkas Siti Katoemi Wirodihardjo ini adalah potret perempuan Indonesia yang hidup di masa transisi ketika feodalisme berangsur pudar dan modernitas mulai bersemi.
Ia adalah saksi perubahan sosial dan ibu dari generasi baru yang membawa Indonesia ke panggung dunia.
Melalui kehidupan yang sederhana namun berakar kuat pada nilai, ia menunjukkan bahwa sejarah besar selalu dimulai dari rumah.
Dan dari rumah kecil dan bertemunya pasangan ini Purworejo itulah, sebuah dinasti intelektual dan kebangsaan lahir yang jejaknya masih terasa hingga kini.
“Di balik setiap lelaki besar, ada perempuan yang membentuknya.
Di balik setiap sejarah bangsa, ada ibu yang menenunnya.”

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










