TAMAN ISMAIL MARZUKI DIBANGUN BUKAN CUMA DENGAN MODAL SEPIRING LONTONG SAYUR !
Oleh: Bambang Oeban
Gagasan besar terwujudnya Taman Ismail Marzuki menjadi Pusat Kesenian Jakarta, hasil dari keinginan bersama para seniman di Pasar Senen dan Balai Budaya Jakarta.
Tahun 1968, terjadi benturan ideologi politik menyebabkan para seniman kehilangan arah, tak bisa lagi berkarya di Pasar Senen dan Balai Budaya Jakarta. seakan sengaja dimampetkan.
Ali Sadikin selaku gubernur DKI Jakarta memberikan solusi agar seniman tetap bisa berekspresi, di area Cikini Raya sebagai pilihan terbaik, kebetulan lahan itu sebelumnya adalah ruang rekreasi terbuka Taman Raden Saleh dan Kebun Binatang Jakarta.
Ali Sadikin merangkul dan menyerahkan konsep pembangunan dengan para seniman dan budayawan, lalu mereka berdiskusi membahas pembangunan Taman Ismail Marzuki di Kantor Harian KAMI dan pondokan Salim Said, di Matraman Raya.
Para seniman dan budayawan, itu antara lain: Arifin C. Noer, Goenawan Mohamad, Ed Zulverdi, dan Sukardjasman.
Setelah rancangan pembentukan TIM selesai yang diketik Arifin C. Noer, kemudian diserahkan ke Christianto Wibisono, diteruskan langsung kepada Ali Sadikin.
Ali Sadikin pun menyetujui atasnama Pemprov DKI akan menyediakan sarana, dana, dan fasilitas penunjang operasional Taman Ismail Marzuki, untuk pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada para seniman dan budayawan.
Ali Sadikin pun membentuk Badan Pembina Kebudayaan, kini dikenal sebagai Dewan Kesenian Jakarta, lembaga tersebut beranggotakan 25 orang, termasuk Trisno Soemardjo sekaligus dipilih sebagai ketua.
Para anggotanya, antara lain:
Arief Budiman (sastrawan), Zaini (pelukis), Binsar Sitompul (musikus), Sardono W. Kusumo (penata tari), Teguh Karya (sutradara), dan Taufiq Ismail (penyair), termasuk Pramana Padmodaryana (pemain teater), Goenawan Mohammad (sastrawan), H.B Jassin (kritikus sastra), Misbach Yusa Biran (sutradara film dan sineas), Ayip Rosidi (penulis), juga termasuk, Asrul Sani (penulis naskah drama dan sutradara film), Moh. Amir Sutaarga, Oesman Effendi, D. Djajakusuma (sutradara film), Sjuman Djaja (sutradara film) dan D.A Peransi (perupa).
Kenapa mesti menggunakan nama Taman Ismail Marzuki?
Lantaran sebuah penghormatan tertinggi kepada Ismail Marzuki, mengingat karya ciptanya sudah lebih dari 200 lagu, sangat terkenal di masanya sampai kini, sekaligus beliau seniman asal dari Betawi asli, dipandang sangat tepat untuk dijadikan Icon Taman Ismail Marzuki sebagai Pusat Kesenian Jakarta.
Bertepatan pula bahwa Ismail Marzuki pun telah bersandang gelar Pahlawan Nasional secara resmi tertanggal 10 November 2004.
*** *** ***
Taman Ismail Marzuki Tempat Pertunjukan Seni Berskala Internasional
Taman Ismail Marzuki merupakan kesaksian sejarah perkembangan seni di Indonesia. Sewaktu itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memberikan skala prioritas masalah fasilitas kepada para seniman.
Rendra (Budayawan, sastrawan, dramawan), menyatakan karya Sardono W. Kusomo bertajuk Samgita Pancasona (1969) lahir di Taman Ismail Marzuki dan cukup banyak pertunjukan teater dilahirkan oleh para sutradara papan atas di negeri ini. Bahkan Taman Ismail Marzuki kerapkali menjadi sarana pertunjukan kelas dunia.
Martha Graham sang koreografer asal Amerika Serikat dan Pina Bausch koreo asal Jerman, kedua grup berkelas dunia pernah menampilkan acara spektakuler Taman Ismail Marzuki, di tahun 1974. Menyusul pertunjukan kelompok Butoh pertama di Indonesia Byakkosha (1981).
Taman Ismail Marzuki Menjadi Area Perkuliahan
Para seniman yang semula sebatas berkumpul dan menampilkan karya-karyanya, akhirnya mereka menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), berada di area belakang kompleks Taman Ismail Marzuki.
Sebelum jadi gedung LPKJ, kini IKJ, dulunya merupakan arena BALAP ANJING, yang kemudian pada 25 Juni 1976, Presiden Soeharto meresmikan LPKJ yang berubah menjadi Institut Kesenian Jakarta bagian dari kekuatan sejarah berdirinya Taman Ismail Marzuki.
Dan pula Konsep pendidikan, Lembaga Pusat Kesenian Jakarta diambil menggunakan sistem sanggar atau padepokan, tenaga pengajar pun kebanyakan para seniman yang sudah sering menampilkan hasil karyanya di Taman Ismail Marzuki.
Lima tahun setelah diresmikan, dipastikan beralih nama jadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), bersistem pendidikan formal, berkurikulum disesuaikan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di masa itu.
Dan masuklah permasalahan baru, ketika Pemprov DKI Jakarta melakukan Proyek Revitalisasi Taman Ismail Marzuki, apa yang terjadi?
Sepertinya sejarah sebagai Marwah Taman Ismail Marzuki tergerus oleh biaya yang menelan banyak, dan apakah dibalik Pembangunan Taman Ismail Marzuki tidak melahirkan penyimpangan, penyunatan anggaran?
Semua dikembalikan kepada para oknum yang bisa menjawab dengan segala perbuatan tidak terpujinya, tanpa sadar telah mencampakkan harga diri Pusat Kesenian Jakarta dimana para generasi penerus seniman dan budayawan diperlakukan seperti penonton di siang bolong, sambil memberikan pernyataan bersama bahwa Taman Ismail Marzuki Terwujud Bukan Cuma Modal Sepiring Lontong Sayur!

Penulis di iniloh.com. Misi kami membongkar informasi rumit jadi bacaan yang ringan dan berguna untukmu, dari yang kompleks jadi mudah, dari yang membingungkan jadi jelas.










